Business-Blog

Learning & Development vs Training & Development, Manakah yang Anda Terapkan?

Di berbagai organisasi, ada divisi atau departemen yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pertumbuhan dan pengembangan yang biasa disebut sebagai Learning and Development (L&D). Sebagai praktisi learning and development kita mesti memahami perbedaan antara learning dan training. Pemahaman ini diperlukan karena dalam prakteknya banyak para praktisi learning and development yang tidak menjalankan fungsinya sebagai learning fasilitator. Bagi mereka bekerja di bagian L&D artinya bertugas mengurusi training karyawan. Setiap tahun yang mereka rencanakan adalah training. Merumuskan Training Needs Analysis, menentukan training yang tepat, memilih vendor, hingga eksekusi pelakasanaan training tersebut menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh praktisi L&D. Dan tentu saja semuanya terfokus pada training. Kalaupun ada aktivitas lain di luar training yang paling difokuskan adalah membuat acara outing atau team building.

Padahal, learning memiliki makna yang lebih luas daripada training.  Agar lebih jelas memahami hal ini mari kita bedah masing-masing mulai dari definisinya.

Learning: the acquisition of knowledge or skills through experience, study, or by being taught.

Training: the action of teaching a person or animal a particular skill or type of behaviour.

Dari definisi di atas jelas terlihat bahwa learning mempunyai spektrum yang lebih luas karena mencakup semua cara untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang baru melalui pengalaman langsung, belajar maupun diajari. Proses atau cara belajar ini bisa melalui membaca, mentoring, coaching dan juga on the job experience.

Sementara itu training adalah sebuah tindakan untuk memberikan pengajaran tentang pengetahuan, keterampilan atau perilaku baru. Berbicara tentang training berarti hanya berbicara tentang pengajaran atau proses transfer knowledge dari satu orang kepada orang lainnya. Dan ini berarti bahwa training adalah salah satu bagian dari proses learning. Dengan kata lain proses training berhenti di kelas, sedangkan proses learning terus berlanjut setelah di luar kelas.

Sesuai namanya, jika kita mengaku sebagai praktisi learning and development atau orang yang bekerja di bidang L&D, maka sejatinya yang perlu dipikirkan bukan hanya trainingnya saja. Praktisi L&D perlu memikirkan secara menyeluruh serangkaian proses, sistem dan budaya yang memungkinkan setiap orang dalam organisasi melakukan pembelajaran.

Sudah saatnya kita tidak hanya berpuas diri setelah program-program training berhasil dijalankan dan hasil evaluasi pelaksanaannya memuaskan. Selain training itu sendiri, ada hal-hal lain yang perlu dipikirkan oleh praktisi learning and development diantaranya:

Di beberapa klien, kami menemukan budaya yang tidak sehat terkait pembelajaran. Budaya itu misalnya, lebih mementingkan pekerjaan dan mengejar target dibanding training. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah partisipasi peserta dalam sebuah training. Sebagai contoh, satu training yang seharusnya dihadiri oleh 20 peserta yang sebelumnya sudah confirm ternyata hanya dihadiri oleh 11 sampai 12 orang saja. Setelah digali, ternyata beberapa orang tidak jadi diijinkan oleh atasannya karena targetnya belum tercapai. Contoh lainnya adalah, adanya peserta terlambat masuk atau bahkan tidak mengikuti satu sesi training karena terjebak dengan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan. Hal seperti ini tentu saja terjadi jika training dilakukan dikantor dimana peserta bekerja.

Tim L&D di beberapa perusahaan klien kami merasa kesulitan menghadapi situasi seperti ini. Namun hal berbeda terjadi pada klien-klien kami yang memang budaya pembelajarannya sangat tinggi. Di organisasi yang seperti ini, bahkan atasan pun tidak akan menelpon saat bawahannya mengikuti training. Mungkin mereka menyadari pentingnya training dan mampu melakukan delegasi yang efektif saat bawahannya mengikuti training.

Menurut hemat kami, sejatinya tugas untuk membentuk budaya pembelajaran yang positif seperti itu juga ada di tangan L&D.

Untuk memastikan pembelajaran tidak terhenti pasca training, beberapa organisasi melibatkan atasan peserta untuk melakukan pemantauan. Beberapa berinisiatif untuk membuat forum-forum pembelajaran informal seperti sharing session atau bedah buku yang berhubungan dengan materi training yang telah dipelajari.

Ada beberapa organisasi yang menerapkan sistem pencatatan jurnal tentang implementasi materi training yang sudah dipelajari dengan durasi waktu kurang lebih 21 hari. Untuk memastikan pelaksanaannya atasan langsung peserta juga dilibatkan sebagai fasilitator pembelajaran juga.

Dengan adanya inisiatif-inisiatif pasca training seperti ini bisa memastikan karyawan terus melakukan pembelajaran. Mereka bisa berkembang melalui repetisi atau pengulangan dengan membaca materi lagi, sharing kepada orang lain dan juga praktek langsung dengan bimbingan atasan. Di saat bersamaan tentunya rekan-rekan kerjanya juga bisa memperoleh pembelajaran dan bahkan atasannya juga ikut belajar lagi.

Sebagai praktisi Learning and Development tentu kita akrab dengan konsep 70:20:10. Model pembelajaran dan pengembangan 70:20:10 dikembangkan oleh Center for Creative Leadership (CCL) pada pertengahan tahun 1980-an oleh Morgan McCall, Michael M. Lombardo, dan Robert W. Eichinger. Mereka melakukan survey kepada 200 manajer yang berhasil menerapkan pembelajaran efektif. Dari jawaban-jawaban yang mereka terima, mereka membagi pembelajaran menjadi tiga kategori:

Model 70:20:10 adalah metodologi pembelajaran yang sangat efektif, dan terbukti berdampak signifikan terhadap bisnis perusahaan.

70 berfokus secara khusus pada pelatihan informal di tempat kerja yang dilakukan secara repetitive dan teratur. Hal ini akan membantu karyawan untuk mendapatkan pemahaman praktis dan mempertahankan pemahaman tersebut dalam skill.

20 berfokus pada coaching dan mentoring yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja yang lebih berpengalaman.

10 mewakili pembelajaran formal, seperti ruang kelas, webinar, presentasi, kuis, dan lainnya.

Untuk menerapkan 70:20 secara efektif, maka sebuah organisasi perlu memiliki budaya coaching yang kuat. Dalam hal ini, perna untuk menumbuhkan budaya coaching tersebut tentunya juga Anda di tangan praktisi L&D di organisasi tersebut.

Nah dari semua keterangan tersebut, sekarang Anda bisa membandingkan. Apakah yang sekarang ini Anda terapkan adalah konsep Learning and Development atau Training and Development.

Share: